Sebuah Roman Perihal Pertemuan Di Terminal Kedatangan

Tanganku menggenggam sebuah tas samping berisi mantel yang seharusnya kupakai sedari tadi. Ransel berwarna hijau lumut kupanggul di punggung belakang. Sepertinya mulai berat di pundakku. Ditambah dingin yang merasuk hingga tulang, makin membuat  tidak nyaman. Padahal suhu udara ruang kedatangan bandara lebih hangat dibanding suhu di luar akibat cuaca dingin yang mulai tiba. Penghangat ruang seakan tak mampu melawan gigil dan gemertak gigi. Syal hitam telah kubalut di leher jenjangku. Digandakan dengan syal rajut hijau tua yang melilit lagi-lagi leherku. Pertemuan pertama semenjak nyaris empat tahun tak pernah menatap mata secara nyata.

Kusapu pandangan di danau manusia yang mengacung-acungkan kertas segi empat tertulis beberapa nama. Di pintu kedatangan aku berdiri menatap lama. Mencari-cari sosok pria yang berjanji menjemputku begitu kaki ini tiba menginjak sebuah negara yang sedari tiga tahun lalu ingin kukunjungi. Sebuah kota yang pernah tanpa sengaja kurapal ketika ulang tahun kedua puluh enamku untuk suatu hari nanti dapat aku menghirup udara paginya.

Sepertinya ia belum datang. Embus dingin menelusup di sela rajutan benang-benang wool sweater tipis. Membuat badanku mulai sedikit bergetar. Aku belum terbiasa dengan cuaca yang jauh berbeda ketika aku di Jakarta. Sudah mau kubalikkan badan, menunggu saja di ruang tunggu dalam. Tetapi sudut mataku memaksa memicing. Pria berkacamata berlari-lari kecil, tergopoh-gopoh membawa jaket tebal yang ia bawa di tangan kanan, membawa kaos tangan dan syal di tangan kiri. Selain itu tangannya menggenggam ransel kecil dengan roda yang mulai terseok-seok memaksa berlari. Sungguh repot sekali. Kacamatanya sempat agak turun dari hidung mancungnya. Masih seperti dulu ketika ia terlalu konsentrasi pada kertas-kertas partitur yang dibacanya di atas piano.

Dua pasang mata akhirnya bertemu. Lidah memang tak mengeluarkan kata-kata, tetapi sorot yang mengada tak diam saja, ramai tak berhingga. Seperti suara lebah, begitu berisik mendengungkan kegembiraan ketika menemukan nektar bunga sepatu. Aku menerobos beberapa manusia yang masih setia menunggu sebuah kedatangan. Akhirnya. Aku bertemu, berdiri di hadapannya. Ransel yang sedari tadi menemaniku berjalan melihat diantara kita. Menyaksikan sebuah pertemuan dua manusia yang telah lama tak jumpa. Aku tertawa, dia tertawa.

“Maaf, membiarkanmu menunggu. Jaket, kaos tangan, dan tambahan syal agar kau tak makin membeku”

“Terima kasih. Bolehkah aku memelukmu? Sepertinya aku terlalu senang bisa berada di sini.”

Badannya begitu hangat. Mungkin akibat berlari-lari karena takut terlambat. Bulir-bulir air mataku tanpa bisa kutahan keluar, menitik membasahi pundak dan dada yang tak terlalu bidang.

“Hei, kenapa menangis?”

“Anggap saja rindu yang sudah tak sanggup lagi kutahan, membuncah, lalu tumpah.”

Lengkung bulan sabit seketika menggaris di wajahmu. Menampilkan salah satu pemandangan indah yang biasanya hanya kulihat secara maya.

“Selamat datang di negeri senja yang selalu kau tulis di setiap kau punya cerita.”

Aku hanya bisa terbahak. Tergelak. Tawaku seketika meledak. Kuraih ransel yang bila ia punya bibir, kuyakin ia tersenyum pula melihat nonanya menemukan ceria. Kami berjalan bersisian, membuat iri manusia-manusia beraut cemberut yang masih saja menunggu di depan pintu kaca kedatangan. Berharap manusia yang ingin dijumpainya cepat-cepat tiba. Melongok paksa kepala berharap pandangannya tak terhalang. Berharap waktu berpihak segera.

Incheon, 22 Desember 2013

Francessa

About francessa

penglihat alam dan manusia serta pengagum pagi menawan. kicau kecilnya dapat kau baca di @francessa__ #KicauKecilTantina. menukar sapa pada studiokausa@gmail.com
This entry was posted in Uncategorized and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a comment