Hujan Jangan Turun

Angin yang menelusup di sela-sela mantel tertutup kancing tak seperti biasanya. Dua manusia menggigil kedinginan, menunggu jarum jam menunjuk angka dua. Berjalan pelan menantang embusan. Mencari-cari tempat yang sedianya memberi sedikit kehangatan lalu mendudukkan capai tungkai kaki. Selayang pandangan tertumbuk pada sebuah café di bangunan tua lantai dua. Hanya lorong kecil berisi anak tangga di sebelah kanan untuk menuju ke sana. Jendela besar di bagian balkonnya memperlihatkan bintang-bintang kertas, lampion, bunga-bunga sakura, terbiaskan lampu kecil kekuningan.

“Kita ke sana saja.”

Tangga kayu renta berwana coklat tua sedikit berderit ketika satu per satu telapak kaki menapak berpadu molekul hangat menyeruak dada. Entah perasaan apa. Lonceng kecil penanda pintu masuk yang terbuka seolah menghidangkan secangkir sapa selamat datang bercampur gula-gula senyuman kepada setiap pengunjungnya. Kursi antik di dekat jendela adalah yang terpilih. Setidaknya untuk memudahkan mereka melihat ada apa di langit siang itu. Atau mungkin perilaku manusia-manusia yang masih bekerja meskipun hari tidak meburu-buru. Berdekatan dengan jendela sepertinya menjadi tempat favorit. Nampak ketika keduanya langsung mengalihkan mata pada ranting-ranting pohon gingko yang meranggas di luar sana, menebarkan penglihatan agak ke bawah mengamati lalu lalang manusia yang tak pernah ada habisnya.

“Wah..hujan. Pantas angin begitu dingin.”

Salah satu manusia bermantel cokelat sedikit menyesah pada manusia bermantel merah di sampingnya. Saling berpeluk untuk berbagi sedikit hangat. Ruang dengan heater seadanya seolah mengerling, menggoda manja sepasang manusia.  Dingin yang makin mendingin menjadikan hujan perlahan berubah warna menjadi seputih susu. Turun semakin lebat, mencair ketika menyentuh balkon lantai.

“Hei..ini bukan hujan. Ini salju!”

Aku tersenyum melihat tingkah mereka yang begitu girang dalam diam. Tersembunyi dalam simpul senyuman dan sekerat binar. Manusia bermantel merah mengambil pena, menulis sesuatu di buku yang disediakan di atas meja. Ada harap di sana, ada haru di sana. Ada kata-kata sederhana yang tertulis di selembar kertas tua.

image
Aku menulis surat ini untukmu, langit. Atas nama manusia bermantel merah. Surat yang menceritakan detik demi detik ketika nadi dua manusia berdetak lebih cepat karena sebuah perasaan sungguh entah. Surat yang berisi ucap syukur terima kasih bahwa kau tepati permintaanku. Permintaan agar hujan jangan turun, salju saja. Salju yang nyatanya membawa senukil bahagia.

Jakarta, 26 Desember 2013
Francessa
Yang bermantel merah, duduk di sebelah manusia bermantel cokelat
Surat ini mengisahkan tulisan “Salju Jangan Turun”
Dok. Pribadi

About francessa

penglihat alam dan manusia serta pengagum pagi menawan. kicau kecilnya dapat kau baca di @francessa__ #KicauKecilTantina. menukar sapa pada studiokausa@gmail.com
This entry was posted in Uncategorized and tagged . Bookmark the permalink.

2 Responses to Hujan Jangan Turun

  1. gembrit says:

    LIKE! Tapi menurutku ini lebih ke cerpen, bukan surat..

Leave a comment