Cerita Makan Malam

Kupakai mantel merahku sebagai pakaian lapis ketiga. Udara malam ini tidak sedingin beberapa hari lalu. Bisa dibilang hangat untuk ukuran cuaca bulan dua belas. Langit malam pun sedikit tersaput jingga kemerahan. Sudah nyaris pukul sebelas. Perutku baru terasa lapar meskipun sudah terlalu malam jika dikatakan makan malam. Aku menuruni anak tangga berlapis karpet merah dengan railing kayu dari lantai lima. Tak ada lift yang biasa ada di hotel minimal bintang tiga. Makhlum, hanya penginapan murah di sebuah bangunan tua.

Sepatu bootku melangkah tergesa. Meninggalkan tumpukan salju putih yang mulai mencair dan gelap yang tak kusuka jauh di belakang. Menyeberang jalanan yang mulai lengang oleh kendaraan beroda. Menyisakan manusia-manusia pekerja dalam balutan jas panjang dan syal berbulu melingkari leher-leher jenjang. Berjalan bersisian denganku menuju ke sebuah tujuan masing-masing.

Aku menoleh-nolehkan kepala mencari toko roti sekadar pereda lapar dan angin malam. Memesan hot chocolate kegemaranku dengan tambahan caramel beserta cheese bagel. Lumayan daripada perut tak terisi apa-apa. Seperti biasa aku memilih duduk dekat jendela. Makan perlahan sambil menatapi lelaki pekerja tanpa senyuman menantang cuaca di luar sana. Mengamati pantulan wajah kaku perempuan yang membereskan roti-roti tersisa tak terjual dari etalase kaca. Membalas pertanyaan-pertanyaan yang terkadang masih saja menyangkut di kepala. Berbicara dengan kesunyian yang banyak manusia mencari dengan harga mahal. Aku di sebuah kota mesin. Dengan manusia bak robot tanpa rasa.

“Heii halo..maaf ya. Kamu menunggu lama kah? Ayo kita makan malam.”

Seorang lelaki menghampiri. Ia yang berdiri memelukku dalam posisi duduk, mengecup sekilas kening dan bibir yang mengering oleh hawa dingin minus empat derajat. Mengambil posisi duduk di seberang meja kayu segi empat. Ia adalah seorang manusia yang sedang berjuang menjadi manusia dengan rasa di tengah himpitan robot dan mesin. Ia manusia dengan senyum di rautnya. Beranjak berdua. Meninggalkan toko roti tempat salah satu cerita makan malam.

“Gamsahamnida. Annyeonghi kaseyo..”

“Annyeonghi kyeseyo..”

Berpamitan. Segera aku meraih hot chocolate yang masih tersisa setengah dengan tangan kiri dan mengisi sela jemari tangan kananku dengan lima jemarinya.

“Kita makan malam odeng saja yuk.”

image
Seoul, 30 Desember 2013
Francessa

Dok. Pribadi
Catatan kaki:
Odeng adalah salah satu jajanan pasar khas Korea berbentuk sate terbuat dari tepung terigu dan ikan. Dimakan bersama kuah kaldu panas.

About francessa

penglihat alam dan manusia serta pengagum pagi menawan. kicau kecilnya dapat kau baca di @francessa__ #KicauKecilTantina. menukar sapa pada studiokausa@gmail.com
This entry was posted in Uncategorized and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a comment