Sebuah Roman Perihal Perpisahan di Terminal Keberangkatan (Bagian Ketiga) – 12 Juli 2015 (#25)

Suratku kembali tiba untuk merebah di pangkuan. Bukan sekadar sebuah ungkapan yang tak secara langsung terucapkan. Adalah pengakuan dari lubuk rasa terdalam yang tak mampu terkatakan meski dengan bisikan. Dalam suratku ini ingin kuceritakan sebuah kejadian beberapa tahun silam ketika waktu berkejaran di pagi-pagi buta dengan guguran daun ginko diantara.

***

Sepagian itu perutku sungguh melilit. Bukan karena apa-apa. Hanya asaku sedikit terbelit oleh waktu yang perlahan namun pasti mengantarkanku pada suatu momen yang begitu sulit. Ia mengetuk lamunku, mengajak segera beranjak menuju nyata. Berhenti memungkiri dan menyadari bahwa inilah saatnya. Aku menyerah, keluar dari naungan nyaman pikiranku. Ransel hijau di sudut ruang yang telah tertutup rapi seperti mengatakan, “Ayo, waktunya akan tiba!”. Aku mengenakan mantel merah dan syal hijau tua yang masih merayakan nuansa Natal penuh berkah namun tak menjadikan rautku hari ini cerah. Bergegas, menuruni anak-anak tangga kayu yang berderit dari sebuah penginapan tua. Menyusuri lorong gang yang masih gelap dalam dinginnya udara bersuhu tak lebih dari sepuluh derajat. Ransel hijau milikku disandangnya. Tak membiarkan pundakku menahan berat sendiri selama ia ada di sisi. Aku mengeratkan lilitan syal menahan angin dingin yang masih nakal-nakal menelusupi, namun membiarkan telapak tangan kananku tanpa sarung tangan demi sebuah genggaman jemari yang sebentar lagi tak bisa kucari. Kita berjalan begitu cepat, menembus semburat pagi yang perlahan membuka diri menuju sebuah stasiun tak jauh dari tempat penginapan tadi.

Sebuah kereta cepat seolah ingin cepat-cepat menggerakkan hari yang sebenarnya ingin perlahan saja kujalani. Berdua kita duduk di dalamnya. Lebih banyak diam dibanding bicara apa saja seperti biasanya. Terlalu sibuk kepala oleh berbagai kejutan-kejutan nantinya. Membunuhi gelisah dan kemungkinan-kemungkinan bagaimana jika yang ingin meracuni. Menahan sepi untuk tidak teracuni lalu bunuh diri oleh pikiran sendiri. Perlahan pergelangan tanganku kusisipkan di lengannya, mendekatkan keningku di bahunya. Tanpa kata-kata, sunyi ini milik berdua yang terisi oleh harap-harap baik kepada semesta.

Deru roda besi mengiringi perjalanan menuju bandara. Ya, bandara menjadi tempat paling melankolis oleh karena sebuah pertemuan dan perpisahan kita. Tempat ini menyapa mereka yang singgah seuntara, menghibur yang menitikkan air mata entah apa, saksi bisu ciuman rindu pasangan-pasangan dimabuk asmara. Dan pintu keberangkatan bandara lah pengamat sebuah peluk erat terakhir kita sebelum bertemu lagi tiga ratus tujuh puluh tiga hari setelahnya. Tak ada kesedihan perpisahan yang diperlihatkan oleh dua pasang mata. Hanya seulas senyum, hanya doa bahagia untuk satu kita.

Baling-baling pesawat mulai berderu. Berirama merdu yang tetiba membawaku yang telah duduk di dalamnya pada sepotong sendu. Aku seketika rindu beribu-ribu, ingin memeluk lagi berulang kali, mendampingi tiada henti, dan tidak mengerti lelehan air mata apa di pipi ini. Semenjak pernah sedih begitu perih, aku tak lagi gembira yang begitu gempita atau duka terlalu lara. Kuseka bulir yang sempat jatuh satu-satu. Berakhirnya perjalananku di negeri senja ini sesungguhnya awal mula. Segala kesementaraan ini ada waktunya. Kecuali cinta.

***

Embun, pagiku masih sama seperti pagi ketika duduk di dalam pesawat menuju pulang. Meski aku tahu pulangku sesungguhnya masih tertahan di sana. Karena denganmu, pertanyaan pulang telah bukan lagi di mana melainkan siapa.

image

Jakarta, 12 Juli 2015

Francessa

PS: tulisan bagian pertama bisa dilihat di sini, sendangkan bagian kedua di sini

About francessa

penglihat alam dan manusia serta pengagum pagi menawan. kicau kecilnya dapat kau baca di @francessa__ #KicauKecilTantina. menukar sapa pada studiokausa@gmail.com
This entry was posted in Uncategorized and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a comment